.. Gugurkanlah butiran-butiran rasa itu ... sebagaimana bergugurannya dedaunan bila telah pula tiba waktunya...
Sesekali tidak... Jangan biarkan hati menyimpan sesuatu yang telah mengering...
Kian membusuk seiring dengan bergulirnya masa...
Hanya mencipta penyakit yang berujung pedih dan sesal...
Lepaskan...
Yakinlah... Musim semi kan menyapa.... :)

Minggu, 10 Juli 2011

*... Sepenggal Kisah Edelweis...*


Kututup munajat panjangku malam ini dengan begitu dalam.. Masih terdengar riuh suara desau hujan angin dari tadi sore semakin menggiring suasana sejuk dingin menusuk tiap ruas hati ku. Ada rasa yang berbeda dalam hati, ah.. benarkah ini seperti sebuah rasa kehilangan… Menyeruak bayangan tanah merah pemakamanmu.

Begitu senyap, yang terdengar hanya desah nafas teratur semua penghuni dirumah ini.. Sesekali diselingi suara angin dan gemuruh dari langit, kembali aku terpekur dalam, menatap untaian baris demi baris surat dari orang yang selama ini kuanggap sahabat sejiwaku..bahkan sudah seperti abangku sendiri.

“De, maafkan abang yang selama ini telah lancang diam-diam menyayangi bahkan mencintaimu.. Sungguh hati ini tak bisa menghindari, namun sekuat tenaga abang simpan dalam-dalam. Sungguh, selama ini abang sangat menghormati prinsip ade yang tak ingin pacaran dan benar-benar tak ingin merusak hubungan persahabatan yang bahkan kita sudah seperti kakak adik.. Abang benar-benar tak ingin kehilanganmu hanya karena secuil rasa yang tidak sepantasnya ini…

Abang sangat bangga dan bahagia bisa mengenal bahkan dekat dengan ade dan keluarga.. Kita bisa berbicara dan bercanda, saling mengingatkan, saling berbagi dalam susah dan senang.. Bahkan suatu kemuliaan buat abang, ade mau menganggap abang sebagai saudara…meski berawal dari silaturahmi di dunia maya dan belum pernah satu kali pun kita bertemu, tapi semua rasa ini sangat nyata dan tulus…

Ternyata Subhanallah begitu indah skenario Allah ya…

Sering terbersit dalam hati ini untuk mencoba memilikimu seutuhnya, meminangmu… Ah, lagi-lagi diri ini merasa sangat tidak layak untuk mu…bahkan untuk bisa menjadi temanmu saja, abang mesti berusaha keras memperbaiki diri dengan perlahan-lahan..
Abang hanya seorang yang bodoh, ga berpendidikan seperti dirimu..juga abang hanyalah orang bandel yang ga layak mendapat perhatian dari orang sebaik dirimu… Tak punya kemampuan ataupun prestasi apapun untuk bisa dibanggakan padamu… Tapi abang benar-benar menyayangimu, begitu tulus…
Buat abang, ade adalah sahabat sejiwa, guru, seorang ade (juga kekasih meski tak diakui..hehe..)

Begitu besar harapan dan impian ini, hingga pada akhirnya abang harus sadar diri dan mengikhlaskan ade untuk memilih pendamping hidup, karena memang abang merasa ga layak dan ga mampu untuk itu…
Tapi, rasa sayang ini tak sedikitpun berkurang..selamanya ade akan menjadi yang paling berharga dalam hidup abang… Semua kenangan itu akan selamanya abadi didalam hati abang…

Semoga suatu hari nanti kita bisa bersua walaupun cuma sesaat…

Selamat menempuh hidup baru ya de… Abang kan selalu mendoakan yang terbaik buat ade..
Semoga dia yang mendampingimu nanti adalah yang terbaik buat agama, hidup ade dan keluarga ade…

Kita akan tetap saling mendoakan, mohon doanya buat abang ya..
Abang yang selalu menyayangimu,

_Fajar Ariya_ “


Surat itu abang kirim padaku via pos seminggu sebelum rencana pendakiannya ke Merbabu. Setelah aku memberi tahu padanya tentang kabar rencana pernikahanku. Baru kali ini aku membaca kalimat-kalimatnya yang begitu lurus terarah, karena dia yang kukenal selama ini abang yang seringnya konyol, susah ditebak mana yang bercanda mana yang beneran… Semua kata-kata abang susah dipegang (emang angin,,hehe..)

Dentingan jam sebanyak empat kali membuyarkan lamunanku yang hanyut… Ah, biasanya..aku membangunkan abang mengingatkannya untuk Qiyamullail, dengan bantuan ponsel bututku yang selama ini setia menjadi sahabat kecilku….
Seandainya saja abang benar-benar saudara kandungku, ya mungkin aku tak akan merasa sungkan untuk terus mengingatkan, untuk terus bersama-sama sebagaimana aku dengan adik-adik kandung ku… Ya..aku memang terlahir sebagai anak pertama, aku tak punya kakak ataupun abang kandung… hee…

Mugkin ini sebuah inisiatif, akhirnya mengangkat sendiri seorang yang kuanggap seperti abangku sendiri.

********

Selepas subuh, waktu itu sebelum keberangkatan abang untuk tour pendakian dalam rangka training pada perekrutan kader baru di team pendakian yang ia rintis bersama teman-temannya, kembali ia meminta doa dan dukungan dari semua teman-temannya termasuk aku…

“De, mohon doa nya ya.. ahad pagi tim kita akan mulai bergerak berangkat menuju Pegunungan Merbabu, doain aja semoga semua berjalan lancar. Insya Allah abang akan terus memberi kabar selama kami masih dapat sinyal..“

Dari seberang terdengar suara abang begitu berbinar, yah..meski komunikasi kami selama ini hanya lewat telepon, semua tak menjadi pembatas dalam persahabatan ini.

“Ya bang, ade doain ya semoga semua berjalan sesuai dengan rencana.. Mmm, jangan lupa ya abang, bikin catatan perjalanan selama pendakian ya, trus ntar dikirim ke ade yah? Oh iyaa, satu lagi! Edelweiss nya yaa??hehe…” begitu antusias juga kusahut teleponnya.
“hmm, edelweiss.. Lambang cinta abadi namun kere…” gumamnya yang nyaris tak terdengar olehku. “Apa bang?!..kata siapa kere wey!” protesku. “Hehehe…” terdengar tawa renyah abang, namun tak memberi penjelasan apapun terhadap protesku, seperti biasa bikin aku sebel.

Ya, abang memang suka konyol, gaya ngomong yang semau gue-nya sepertinya sudah mendarah daging, tapi justru hal ini yang membuat aku dan abang bisa akrab. Aku yang menurut abang anak alim, serius, lugu, tapi lumayan intelek, awalnya cukup sulit untuk diajaknya berteman, tapi dalam waktu singkat entah mengapa akhirnya kita bisa bagai awan dan hujan, berteman dekat sampai-sampai merasakan seperti dua orang saudara. Abang lah tempat aku sering berbagi, bercerita tentang apapun, teman berantem meski aku sadar kadang kekonyolan nya sering membuatku naik pitam, tapi sulit aku pungkiri bahwa aku terkadang ngangenin itu semua… Ah, sungguh aneh..

“Door!!,. Idiih lagi ngelamunin abang yeh?? Hayoo ngaku..diem aja neng dari tadi.. Ehem..ehem ada yang takut ditinggalin nih kayak nya..haha.. Jangan takut oy! Abang kagak bakalan lama-lama diatas, tenang aja..hahah..” Hmm, mulai dah kata-katanya ngalir ga pake mikir, “Hah, dasar ke-Ge eR an niy orang” gerutuku dalam hati.
“Huh! Kagak bakalaaan!!... udah pergi aja sana, kaga balik juga ga kenapa-kenapa koq! Wee.. “ bibirku mengerucut. Kekesalanku akhirnya tumpah. “Haduuh dia marah oy..iya maaf boss, cuma becanda doang...maaf, maaf” Teriak abang dari seberang disambung tawa nya yang membahana. Huuft..betul-betul menyebalkan.

“Udahan ah ngambeknya, nanti abang bawain edelweiss nya yang banyak ya non?” bujuknya.
“Heh, beneran ya bang?! Hehe..” sambutku sambil terkekeh. Tawa kami berderai berserakan diudara.

***

Kami sudah berada pada ketinggian kira-kira 3000-an mdpl, udara jam 2 dini hari ini cukup membuat kami beku. Medannya juga makin sulit dilewati karena hujan terus menerus mengguyur, membuat pijakan licin. Mohon doanya ya de, semoga kami bisa mencapai puncak Merbabu dengan selamat. Kalau nanti ga bisa mengirim kabar lagi, berarti sudah ga ada sinyal lagi. Don’t worry, be happy ya neng.. I’ll be back soon, lengkap dengan edelweiss dan catatan perjalannya.. Siapin aja upacara penyambutan buat abang nanti ya..hehe…

_Salam Rimba_


Lamat-lamat ku baca sederetan kalimat sms abang yang terkirim ke telepon selulerku tepat jam 2 malam. Terlintas ingatanku saat kami beradu argumen ketika aku mencoba menahan abang agar tak melakukan climbing di saat seperti sekarang, karena memang sedang musim penghujan. Tapi abang tetap bersikeras untuk berangkat. Terbersit cemas dalam hatiku. Sembari ku panjatkan doa buat abang dan teman-temannya. Ah, mengapa hati ini menjadi tak tenang setelah membaca sms nya.
Selama tiga hari tak ada kabar lagi. Instingku mengatakan bahwa mereka sudah ada di puncak Merbabu. Hari ke-empat masih tak ada sms atau telepon dari abang atau teman-temannya yang masuk di Hand Phone ku. Hmm, dasar konyol bikin orang cemas aja.. gerutu ku dalam hati.
Dering nada sms Handphone ku betul-betul membuatku terlonjak. Untung gelas yang kupegang mendarat diatas kursi empuk, jadi tidak sampai pecah..Fiuhh..
Kusambar Hp ku, ah mudah-mudahan itu kabar dari abang.

Innalillahi wa innailaihi roji’uun. Telah berpulang teman kita Fajar Ariya. Tim kami mendapat musibah saat turun dari pendakian gunung Merbabu. Dan salah satu teman kita Fajar yang terjatuh, mengalami luka cukup serius dibagian kepala. Beliau tak sempat tertolong saat dalam perjalanan menuju Rumah Sakit. Mohon doa dari semua.

_Andre_


“Innalillahi wa innailaihi roji’uun.” Bibirku bergetar melafazkan kalimat itu. Dadaku terasa sesak. Sungguh aku tak percaya mendengar kabar itu. Tubuhku lemas. Akhirnya aku terduduk lunglai sambil bersandar ke dinding. Butiran bening terus tumpah ruah. Abang..benarkah ia telah pergi selamanya. Bukankah ia janji akan kembali segera? Mengapa ia kembali dengan jasad yang tak be-raga.. Ya Rabb…

Maaf Vega, sebelum kepergiannya, Fajar sempat menitipkan pada kami seikat bunga edelweiss dan catatan-catatn yang ia tulis dalam perjalanan pendakian kami buat kamu. Insya Allah, setelah selesai pemakamannya nanti akan kami kirimkan via pos ya. Tolong kirimkan alamat kamu ya Ve..

_Andre_


Sms Andre, temannya abang tak sempat lagi kubalas. Tanpa sadar ku kemasi barang-barangku kedalam tas besar. Yang ada dibenakku saat ini terbang ke Jakarta. Aku harus sempat menjumpai abang meski sekarang hanya jasadnya saja. Namun aku yakin ia pasti melihatku dari alam sana. Abang pasti senang dengan kehadiranku.

Abang kita akan bertemu walau hanya sesaat, walaupun raga mu tak lagi mendiami jasadmu. Aku akan memenuhi harapanmu, meski kini mungkin semua terlanjur terlambat. Aku akan menerima bunga edelweiss-mu dan catatan pendakian itu di samping abang. Saat semua telah membeku..jasad dan juga cintamu…

Tunggu kedatanganku..

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar